Ocit Abdurrosyid Siddiq
Penulis adalah Ketua Fordiska Libas Banten
Pemilu dan Pilkada merupakan pesta demokrasi yang -mestinya- diikuti oleh seluruh pihak dengan riang gembira. Namanya pesta, pastinya penuh dengan keceriaan, kegembiraan, menyenangkan, dan menggembirakan. Namun kadang malah sebaliknya.
Gegara dalam Pemilu ada kontestasi antar peserta, yang tidak jarang diwarnai dengan berbagai cara untuk menjadi yang terpilih, muncullah intrik, polemik, hingga konflik. Terjadilah kecurangan dan pelanggaran. Alih-alih menjadi ajang pesta, malah berubah menjadi media saling nista.
Dalam situasi seperti ini, kehadiran penyelenggara Pemilu sangat diperlukan, khususnya para pengawas, untuk mewujudkan kontestasi yang adil dan setara bagi seluruh peserta. Sayangnya, kadang regulasi yang menjadi dasar bagi mereka untuk bertindak tidak tersedia.
Salah satu kelemahan penyelenggara Pemilu untuk bertindak dalam menegakkan keadilan ini -dan sebetulnya perkara ini sudah sangat klasik- adalah ketika mereka dihadapkan pada situasi dimana “kebenaran substantif dikalahkan oleh kebenaran administratif”.
Prinsipnya, penyelenggara Pemilu itu bertindak berdasarkan regulasi. Mereka tidak bisa berinovasi membuat norma baru diluar regulasi. Haram hukumnya bagi penyelenggara Pemilu melakukan ijtihad diluar ketentuan yang sudah ditetapkan!
Namun karena pakem seperti itu, penyelenggara Pemilu dihadapkan pada situasi dimana mereka disatu sisi mesti menegakkan keadilan, sementara disisi lain tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan tersebab tiadanya regulasi yang mengaturnya.
Salah satu kebenaran substantif yang kalah oleh kebenaran administratif itu adalah ketika Komisi Pemilihan Umum atau KPU belum menetapkan para bakal calon Kepala Daerah menjadi calon pada Pilkada Serentak 2024. Karenanya, para balon itu belum menjadi “objek”.
Siapapun warga negara yang berniat menjadi Kepala Daerah memiliki hak untuk mempublikasikan dirinya kepada khalayak dengan beragam cara. Misalnya dengan cara memasang baliho dan spanduk, atau melakukan sosialisasi kepada masyarakat.
Entah dia warga biasa, pengusaha swasta, petahana, anggota DPR, Anggota TNI, Anggota Polri, termasuk Aparatur Sipil Negara atau ASN. Mereka memiliki kesempatan untuk mengenalkan dirinya sebagai calon Kepala Daerah.
Dalam perspektif regulasi yang mengaturnya, yaitu UU Pemilu atau UU Pilkada, penyelenggara tidak memiliki otoritas dan atau kewenangan untuk melakukan tindakan terhadap mereka yang disinyalir melakukan “kampanye dini” ini.
Penyelenggara tidak bisa mengambil tindakan terhadap mereka yang menabalkan diri sebagai “bakal calon” ini. Mereka “bukan apa-apanya Pilkada”. Mereka akan dianggap mulai “berurusan” dengan penyelenggara bila telah ditetapkan sebagai calon.
Karena prinsipnya demikian, maka celah hukum ini kemudian digunakan oleh mereka yang berkepentingan, misalnya seorang ASN yang berniat maju sebagai calon Kepala Daerah. Yang bersangkutan merasa belum “kena aturan” UU Pilkada.
Sebagaimana kita mafhum bahwa ASN dilarang berpolitik praktis. Pasal 9 ayat (2) UU ASN secara tegas menyebutkan bahwa pegawai ASN harus bebas dari pengaruh dan intervensi semua golongan dan partai politik.
Bagaimana hukumnya jika ASN terlibat berpolitik? Dalam hal ASN/PNS menjadi anggota dan/atau pengurus partai politik, ia diberhentikan tidak dengan hormat, sebagaimana diatur dalam Pasal 52 ayat (4) jo. Pasal 52 ayat (3) huruf j UU ASN.
ASN yang terlibat dalam politik praktis merupakan bentuk pelanggaran disiplin atas Pasal 9 ayat (2) UU ASN dan Pasal 5 huruf n angka 5 PP 94/2021. Bagi PNS yang melanggar ketentuan larangan di atas bisa mendapatkan hukuman lumayan berat.
Hukuman disiplin berat dijatuhkan yakni terdiri atas penurunan jabatan setingkat lebih rendah selama 12 bulan; pembebasan dari jabatannya menjadi jabatan pelaksana selama 12 bulan; dan pemberhentian dengan hormat tidak atas permintaan sendiri sebagai PNS.
Dengan demikian, bila pun penyelenggara Pilkada “tidak berkutik” menggunakan kewenangannya terhadap ASN yang saat ini baru sebatas bakal calon Kepala Daerah, sejatinya yang bersangkutan bisa kena aturan dengan menerapkan UU ASN.
Bagaimana langkah yang tepat terhadap seseorang yang masih tercatat sebagai ASN namun sudah kentara berpolitik praktis? Warga negara bisa menyampaikan laporan hal itu kepada Komisi Aparatur Sipil Negara atau KASN.
KASN memiliki tugas untuk menjaga netralitas pegawai ASN, melakukan pengawasan atas pembinaan profesi ASN, dan melaporkan pengawasan dan evaluasi pelaksanaan kebijakan manajemen ASN kepada Presiden.
Dalam melakukan tugasnya, KASN dapat melakukan penelusuran data dan informasi terhadap pelaksanaan sistem merit dalam kebijakan dan manajemen ASN pada Instansi pemerintah.
Selain itu, KASN juga melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan fungsi pegawai ASN sebagai pemersatu bangsa, dan menerima laporan terhadap pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku pegawai ASN.
Juga melakukan penelusuran data dan informasi atas prakarsa sendiri terhadap dugaan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku pegawai ASN, dan melakukan upaya pencegahan pelanggaran norma dasar serta kode etik dan kode perilaku Pegawai ASN.
Atas laporan dari masyarakat, KASN dapat memberikan rekomendasi sanksi yang mesti dijatuhkan oleh Pejabat Pembina Kepegawaian atau PPK, yang merupakan pejabat yang mempunyai kewenangan menetapkan pengangkatan, pemindahan, dan pemberhentian pegawai Aparatur Sipil Negara, terhadap ASN yang “nakal”.
Bentuk “kenakalan” seorang ASN itu antara lain adalah puguh sudah tahu bahwa dirinya mesti netral dan tidak berpolitik praktis, namun yang bersangkutan mencoba “bermain api” dengan cara “belagu pilon”.
Tindakan konyol itu seperti yang dilakukan oleh seorang kepala dinas pada sebuah organisasi perangkat daerah di salah satu kabupaten dan kota di Provinsi Banten. Masih aktif sebagai ASN, masih menjabat kepala dinas, namun sudah berpolitik praktis.
Bentuk politik praktis tersebut dengan cara menyatakan, mendeklarasikan, mensosialisasikan, dan mempublikasikan dirinya sebagai bakal calon kepala daerah. Dengan kewenangan yang masih melekat pada dirinya, digunakan untuk menggalang dan memobilisasi dukungan dari bawahannya yang notabene para ASN juga.
Di kabupaten lain dan masih di provinsi yang sama, ada seorang ASN nomor satu di daerahnya yang akan maju sebagai calon kepala daerah. Untuk kepentingan itu, yang bersangkutan bahkan sudah duduk bersama dengan pengurus partai politik tertentu dengan menggunakan kostum bernada sama dengan warna partai politik dimaksud.
Atas kenyataan ini, penyelenggara belum bisa melakukan tindakan, tersebab sebagaimana yang sudah dijelaskan diatas. Mereka belum menjadi “objek” dari UU Pilkada, tersebab belum ditetapkan sebagai calon.
Namun tindakan yang terasa seperti “pembiaran” ini sangat mencederai rasa keadilan. Bila UU Pilkada belum bisa menyentuh mereka, maka keadilan itu bisa ditegakkan dengan menggunakan celah lain, yaitu UU KASN.
Hal itu juga bisa tidak berlaku bila yang bersangkutan bertindak proporsional. Yaitu dengan cara ASN yang mau maju sebagai calon kepala daerah, sebaiknya tidak menunggu hingga ditetapkan sebagai calon untuk mundur dari ASN.
Saran Penulis, untuk ASN yang berniat maju sebagai calon kepala daerah, sebaiknya menyampaikan pengunduran diri sejak dini. Jangan menunggu ditetapkan KPU. Dengan begitu anda terlihat gentelman. Dengan begitu anda akan nampak lebih terhormat.
Daripada anda dilaporkan lalu diproses dan dijatuhi sanksi. ASN berpolitik praktis sanksinya berat lho, bisa dijatuhi pemberhentian. Kalau ini terjadi, pastinya akan berdampak terhadap elektabilitas anda. Mau begitu?
_“Emang kalo gue ga mundur, mau apa? Siapa yang berani lapor-laporin?”. Ulah sok nangtang. Ulah sapat kaniaya!_
***