PENULIS
Ocit Abdurrosyid Siddiq
_Kordiv SDMO Bawaslu Provinsi Banten_
Usai pengumuman hasil test tertulis calon anggota Panitia Pengawas tingkat Kecamatan atau Panwascam untuk Pemilu tahun 2024 di Kabupaten Pandeglang, muncul beragam reaksi dari masyarakat. Seperti halnya yang dilakukan oleh sekelompok mahasiswa.
Mereka melakukan unjukrasa di depan kantor Bawaslu Kabupaten Pandeglang. Tuntutan yang mereka suarakan adalah demi transparansi, Pokja pembentukan Panwascam harus membuka rincian perolehan nilai hasil test tertulis.
Padahal, Pokja tidak mencantumkan rincian nilai adalah karena regulasi mengaturnya, yang menyebutkan bahwa perkara nilai merupakan informasi yang dikecualikan. Sama halnya dengan tanggapan masyarakat yang masuk kepada Pokja tentang informasi para peserta. Ia bersifat terbatas.
Andai tidak ada regulasi yang melarangnya, Pokja tanpa diminta pun akan melakukannya. Pun tanggapan masyarakat. Tetapi ia hanya diketahui oleh tim penguji dan peserta bersangkutan. Tidak boleh ada pihak lain yang turut dan larut mengetahuinya.
Jadi, tuntutan pembatalan surat pengumuman tentang hasil CAT yang karena tidak mencantumkan rincian nilai test tertulis para peserta, lalu dianggap tidak transparan, tidak bisa dipenuhi Pokja. Sekali lagi, karena perkara rincian nilai merupakan informasi yang dikecualikan.
Pada point kedua, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang mewujudkan demokrasi yang bersih, bermartabat, dan berintegritas. Perihal ini sejatinya sudah menjadi bagian dari komitmen anggota Bawaslu di berbagai tingkatan sejak mereka dilantik. Point ini, kami sepakat.
Lalu pada point ketiga, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang harus taat asas kepatutan. Entah kemana arahnya. Tapi bila boleh menafsir apa maksudnya, maka kinerja anggota Bawaslu Kabupaten Pandeglang yang on the track adalah wujud kerja professional, yang adalah salah satu indikator kepatutan.
Yang keempat, pendemo menuntut agar Bawaslu Kabupaten Pandeglang mengevaluasi perekrutan calon Panwascam karena tidak selektif. Mau dikata tidak selektif bagaimana, bila sedari awal pada saat penyerahan berkas dilakukan penelitian administrasi.
Hasilnya, ada beberapa diantara pendaftar yang tidak bisa mengikuti test tertulis karena dia tidak lolos seleksi adminitrasi. Lalu, 6 orang yang lolos ke 6 besar adalah orang-orang yang memiliki nilai paling tinggi dari tiap kecamatan. Mereka adalah orang-orang yang sudah membuktikan dirinya dalam aspek kompetensi.
Sementara tuntutan terakhir mereka adalah bahwa DKPP harus menindak tegas dan memecat oknum-oknum Pokja yang diduga melakukan praktek-praktek kecurangan. Pada point ini kami sepakat. Tinggal buktikan saja siapa oknum yang melakukan ulah tersebut.
Atas aksi unjukrasa dan dengan tuntutan tersebut, saya meresponnya dengan membuat sebuah tulisan dengan judul “Karena Belum Khatam Baca Regulasi”. Pada tulisan tersebut pointnya adalah saya memaklumi apabila mereka berlaku demikian.
Masih dalam tulisan tersebut, permakluman itu saya sampaikan karena mereka bisa jadi belum baca atau belum paham regulasi. Misalnya, andai mereka baca dulu dan memahami ada regulasi yang mengatur perihal pengecualian informasi, sejatinya mereka tidak akan melakukan aksi.
Prasangka baik saya demikian; bahwa aksi itu karena menuntut transparansi. Tapi kalau motivasi aksi itu karena ada kekecewaan pada sebagian pelaku aksi tersebab ternyata ada diantara mereka yang tidak lolos ke 6 besar karena nilai kecil, persoalannya menjadi lain.
Bila alasan terakhir itu juga benar, maka demi memenuhi tuntutan mereka serta dalam rangka membuktikan bahwa pelaksanaan test dan perolehan nilai begitu transparan, bahkan saya berkeinginan untuk membeber perolehan nilai seluruhnya.
Tapi, lagi-lagi bahwa selain itu merupakan informasi yang dikecualikan, saya malah merasa kasihan sebab khawatir akan ada yang dipermalukan. Bagaimana tidak akan malu. Mengklaim mendapat nilai tinggi dan layak lolos ke tahap berikutnya, sementara “kartu truf” berkata lain.
Rupanya, penjelasan saya lewat tulisan itu menuai respon dari mereka. Seorang yang mengaku menjadi bagian dari penggerak aksi itu membuat tulisan balasan dengan judul “Khatam Baca Regulasi, Sudahkah Sempurna Dalam Implementasi?”.
Ini keren. Sungguh keren. Masih jarang orang yang mau dan mampu merespon dengan cara berdialektika seperti ini. Saya sangat menaruh apresiasi atas cara orang ini dalam merespon sebuah pendapat dan atau sebuah penjelasan.
Merespon tulisan dengan cara tulisan itu akan menumbuhkan dialektika. Dialektika itu akan menghasilkan solusi. Dialektika itu bagus dan produktif. Berbeda dengan cara orang yang merespon dengan gaya ceplok-batok. Yang hanya berhenti di sebatas debat kusir. Dan itu tidak produktif.
Sebuah tulisan direspon dengan tulisan lagi, itu adalah cara setara dan seimbang. Kalau sebuah tulisan dibalas celoteh ceplok-batok, itu seperti petinju Klitchko ditantang Pacquiao. Dan kita sudah bisa memperkirakan, pada akhir pertarungan siapa yang akan tersungkur mencium kanvas.
Jadi, sekali lagi, saya sangat menaruh apresiasi atas cara yang bersangkutan dalam merespon penjelasan lewat sebuah tulisan. Dengan judul tulisan yang rumusannya begitu bagus, saya berharap akan mendapatkan respon yang isinya juga sebagus rumusan judulnya.
Tapi sayang, ketika saya baca paragraph per paragraph, kalimat per kalimat, hingga kata per kata, tidak menemukan respon yang substantif atas tulisan saya sebelumnya. Hingga pada bagian akhir saya baca, hampir seluruhnya diluar ekspektasi.
Usai membaca hingga bagian akhir, mendadak saya merasa seperti fansnya Lesti Kejora ketika mengetahui bahwa ia memaafkan kesalahan Rizky Billar. Bukankah pemirsa maunya agar kasus itu dilanjutkan hingga si ringan tangan itu mendapat balasan setimpal?
Penonton dibuat kecewa. Begitu pun saya. Pada tulisan itu tiada kata, kalimat, apalagi bagian paragraph, yang langsung merespon tulisan saya sebagai jawaban atas tuntutan pada aksi unjukrasa yang dilakukan sebelumnya.
Tulisannya malah banyak didominasi dengan jargon. Jargon-jargon penuh semangat, seperti mahasiswa yang baru belajar pada semester awal dengan mata kuliah baru pengantar. Dan itu bahkan dimulai sejak kalimat pembuka. Mari kita bedah.
“Riuhnya ruang publik dengan beragam narasi adalah indikator hidupnya demokrasi. Partisipasi masyarakat dalam mengawal suksesi Pemilu sudah menjadi keniscayaan”. Selain rumusan kalimat ini cuma jargon, juga ada kesalahan substansi. Tak ada istilah “suksesi Pemilu”. Logical fallacy ini.
Selebihnya, hanya rangkaian kalimat yang malah membuat saya sendiri menganggukkan kepala, karena setuju atasnya. Bagaimana tidak. Dia kemudian menjelaskan asas dan prinsip penyelenggara Pemilu yang bagi saya itu merupakan makanan keseharian.
Saya tidak bermaksud mengatakan bahwa narasi seperti itu seperti “mapatahan ngojay ka meri”. Penting juga sih buat saya agar ini menjadi cara pengingat bagi saya untuk berkomitmen sebagaimana janji dan sumpah jabatan; dua hal yang ternyata ada juga dalam tulisannya, yang bagi saya bukan barang baru.
Pada bagian selanjutnya, memaparkan tentang pentingnya penyelenggara Pemilu untuk mandiri, jujur, adil, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas. Lalu menyertakan pula pentingnya independensi dan integritas. Sekali lagi, ini perkara familiar dalam keseharian saya.
Lanjutnya, “kekhataman dalam membaca sebuah regulasi harus dibarengi dengan implementasi yang baik dan benar, sebagai tanggungjawab moril”. Atas statement ini saya cukup angguk, karena merasa sepakat atasnya. Tapi, jangan pula karena judul tulisan saya pakai diksi itu lantas memaksa dengan diksi “kekhataman” juga. Bacanya terasa aneh.
“Lebih jauh daripada itu untuk memastikan sebuah lembaga dapat steril dari kontaminasi berbagai kepentingan cabang kekuasaan manapun implementasinya harus benar-benar terlaksana dengan sempurna dan paripurna”. Atas bagian ini saya gideg.
Sebagai dosen pengampu mata kuliah Filsafat Ilmu dan Logika yang pernah saya ajarkan kepada mahasiswa FISIP UNMA Pandeglang sejak tahun 2004 hingga tahun 2015, saya merasa harus belajar lagi untuk bisa memahami pilihan kata ilmiah dan substansi yang dituju. Kali ini saya gagal paham.
Pada bagian selanjutnya, tulisan ini memberikan stigma bahwa adalah sebuah anomali ketika pelaksanaan tersebut (entah mana yang dimaksud) tidak berbanding lurus dengan adanya beberapa catatan tentang beberapa pelanggaran yang ada”. Sekali lagi, saya tak bisa menangkap maksudnya.
Di akhir tulisan, dia menutupnya dengan mengatakan “Intervensi dari elit politik yang mencoba untuk mendikte Bawaslu, sehingga tidak berlebihan jika ada yang menyebut Bawaslu sebagai macan kertas”. Kalimat ini bahkan tidak lengkap. Karena tidak menggambarkan bagaimana sikap Bawaslu atas dikte elit yang dituduhkan.
Dari seluruh isi tulisannya, tak satu pun yang nyambung sebagai respon atas tulisan saya. Kan begini ; unjukrasa menuduh ada kecurangan, karena tidak transparan, tersebab nilai tak dicantumkan. Saya jawab, bahwa itu diatur regulasi, bagian dari informasi yang dikecualikan.
Semula saya mengira dalam tulisannya akan merespon balik tentang ini. Tapi nyatanya tiada satu pun counter atas penjelasan saya. Itu hanyalah sekumpulan rumusan kalimat normative yang sejatinya perkara umum yang sudah lazim diketahui dan dipahami.
By the way, sekali lagi sungguh saya merasa senang dengan caranya merespon lewat tulisan walau isinya diluar ekspektasi. Cara merespon tulisan dengan tulisan lagi merupakan tradisi sangat baik, karena itu mencerminkan kecendekiaan, sebagai ciri utama mahasiswa yang adalah insan akademik.
Teruslah suarakan idealisme, karena itu qulil haq walau kana murran; berani menyuarakan kebenaran walapun terasa pahit. Tapi jangan lupa, saat menyuarakan sesuatu yang menurut saudara benar, bekali dulu diri saudara dengan pengetahuan dan pemahaman. Caranya, khatam baca referensi. Wallahualam.
***
Pasirgintung
Minggu, 23 Oktober 2022