Ocit Abdurrosyid Siddiq
_Penulis adalah warga biasa_
Salah satu ciri orang beragama dan atau memiliki iman itu adalah percaya terhadap yang gaib. Mistisisme merupakan bagian dari yang gaib. Orang beragama sangat lekat dengan mistisisme.
Mistisisme merupakan paham yang memberikan ajaran yang serba mistis sehingga hanya dikenal, diketahui atau dipahami serta diyakini oleh orang-orang tertentu saja, terutama para penganutnya.
Orang yang tidak menganutnya tidak akan memercayai perkara mistik. Mengapa sebagian masyarakat Barat tidak takut pada hantu, apalagi berupa pocong? Karena mereka bukan penganut dan tidak percaya. Apalagi meyakininya.
Tuhan, malaikat, hari akhir, kehidupan setelah kematian, ruh, setan, hantu, surga, neraka, alam kubur, dan tujuh puluh bidadari, merupakan perkara mistik yang ada pada ajaran agama.
Kepercayaan mistik ini ada dalam ajaran agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, juga Budha. Pastinya, setiap ajaran agama tersebut memiliki diksi dan istilah berbeda. Seperti surga yang juga dikenal dengan istilah nirwana.
Sebuah kebenaran bagi orang beragama itu bukan hanya realita, empirik, rasional, dan kasatmata. Tetapi iman, kepercayaan, dan mistik juga merupakan bagian dari alat takar kebenaran. Ibadah dan doa menjadi medianya.
Bagi orang yang hanya menggunakan rasio sebagai alat takar kebenaran, maka ekspresi orang-orang beragama dalam meyakini ajarannya dalam ritual ibadah dan doa adalah perilaku konyol.
Termasuk mereka yang tergabung dalam aliran, madzhab, sempalan, dan sekte dalam agama. Bagi kaum rasionalisme, jangankan sekte, beragama saja adalah sudah masuk kategori kekonyolan.
Seperti misalnya belakangan ini. Satu keluarga dengan 4 orang anggota keluarga yang meninggal secara berjamaah, yang semula diduga meninggal karena kelaparan.
Belakangan disinyalir sebagai akibat dari kepercayaan mereka atas semakin dekatnya hari kiamat; doktrin yang hampir ada pada tiap ajaran agama. Yang memilih mati karena kepercayaan seperti ini sudah sering terjadi.
Mereka lebih memilih untuk mengakhiri hidupnya secara bersama dengan cara tidak makan dan tidak minum. Dengan begitu, mereka yakin akan mati secara husnul khotimah dan berpindah ke nirwana.
Kita kerap mendengar bila ada sebuah tindakan yang diduga sebagai perilaku menyimpang dari cara pandang yang umum, disebut sebagai sekte, lalu dianggap sesat.
Sama halnya, dalam perspektif orang-orang ahlus sunah wal jamaah yang memandang Ahmadiyah dan Syiah sebagai sebuah kelompok sempalan atau sekte. Makanya dianggap sesat.
Padahal, pada kadar tertentu, dalam Islam itu sendiri terdapat begitu banyak ragam ekspresi keberagamaan. Setiap kelompok memiliki pakem dan kekhasan masing-masing.
Makin spesifik kekhasan itu, makin meyakinkan kepada para pengamalnya, bahwa cara mereka masing-masing itulah yang paling benar. Seperti halnya trend munculnya model pengajian belakangan ini.
Marhaba, panjang mulud, dzikir, istighosah, dengan beragam ekspresinya, merupakan contoh aktualisasi keberagamaan yang kadang bila ditakar dari perspektif rasio, merupakan perkara absurd.
Tetapi karena seperti telah disampaikan diatas, bahwa perkara benar dalam agama itu bukan hanya ditakar oleh rasio, maka yang absurd tadi malah berada pada posisi mulia, ketika ditakar dengan iman.
Dzikir yang semula merupakan media meditasi yang senyap, personal, dilakukan kala dinihari, sebagai wujud komunikasi dan kesadaran hamba dihadapan tuhannya, kini berubah menjadi hingar bingar. Apalagi istighosah.
Acara dzikir yang digelar oleh jamaah tertentu, kini terdengar seperti simponi paduan suara. Bahkan hentakannya seperti cadasnya musik rock. Seperti tak sadar lingkungan. Seperti orang kesurupan.
Kalimat “la ilaha illallah” yang dulu dilisan dengan khidmat dan penuh penghayatan, kini seperti gemuruh riuh penonton pertandingan sepak bola di stadion. Saling sahut dalam nada ritmik yang terasa mistis.
Kalimat tahlil dipotong agar lebih ritmik dengan cukup diucap “ilallah ilallah ilallah”, dengan gerakan gelengan kepala ke kanan dan ke kiri. Ke atas tengadah, ke bawah seperti anggukan. Tak sedikit yang juga menggerakkan tubuhnya.
Bahkan dalam peristiwa tertentu, situasi ekstase semacam itu membuat jamaah seolah tidak sadar keadaan. Saking terbawa suasana, meringkik dan menyertainya dengan gerakan anggota tubuh seperti gerakan tarian.
Kalau sudah begini, maka bagi kaum rasionalisme, yang menakar sebuah kebenaran dengan rasio, perilaku “konyol” demikian tidak berbeda dengan kekonyolan yang dilakukan penganut sekte; bertindak diluar nalar.
Bila kita menganggap bahwa jamaah sekte yang mengakhiri hidupnya dengan cara berlapar-lapar dan berhaus-haus demi mencapai nirwana, adalah sebuah kekonyolan, maka dzikir, marhaba, istighosah dan yang semacamnya bagi kaum rasionalisme juga adalah sebuah kekonyolan.
Padahal, bagi pelakunya, tindakan untuk tidak makan dan minum kemudian mati, adalah cara yang diyakini paling benar. Marhaba dan dzikir, juga istighosah, bagi pelakunya adalah ritual suci yang mulia dan sarat pahala.
Lalu, mengapa kita kerap menyemat stigma bahwa itu salah dan sesat? Bila pembaca mengiyakan dan membenarkan pertanyaan ini, maka pertanyaan lebih besarnya adalah mengapa Ahmadiyah dan Syiah dianggap sesat, lalu dijadikan alasan untuk dibantai? Tragedi Cikeusik buktinya.
Kalau penulis bertanya demikian, jangan tergopoh menyemat stigma bahwa penulis berada pada posisi membenarkan dan membela keduanya. Ini lebih pada upaya muhasabah kita yang kerap serampang menuduh orang.
Menakar Syiah dengan perspektif Ahlussunah, ya tidak nyambung. Maka tak aneh bila jatuhnya salah. Menakar Kristen dengan kacamata Islam, ya tidak nyambung. Juga jatuhnya salah. pun sebaiknya.
Menakar orisinalitas Al-Kitab dari perspektif umat Islam. Menakar kebenaran Al-Quran dari kacamata Nashrani. Mempertanyakan kriteria ketuhanan Sang Gautama dengan prinsip tauhid. Ya kagak nyambung.
Memang, menyimpulkan sesuatu itu adalah salah, walau dengan alat takar yang salah, itu tidak salah. Yang salah adalah apa yang dianggap salah itu disematkan pada mereka yang dianggap salah. Kemudian dijadikan pembenar untuk menyemat stigma sesat.
Karena sebaliknya, cara yang sama itu juga bisa dilakukan oleh mereka kepada kita. Bila sudah begini, maka konsepsi rahmatan lil alamin hanya ada diatas kertas. Masing-masing memandang dengan cara dan dari sudut pandang masing-masing.
Beragama koq sibuk mencari celah salah ajaran agama agama lain. Tabiat seperti ini seperti menunjukkan ketidak-yakinan atas kebenaran ajaran agama sendiri. Jadi, daripada sibuk mencari celah salah, lebih baik perbanyak irisan kesamaan.
Nah pada posisi seperti inilah narasi saling menghargai, saling menghormati, saling menjaga kerukunan, tepa-salira, dan toleransi mendapatkan tempatnya.
Menganggap orang lain konyol, sesat, dengan hanya bermodal pada doktrin yang selama ini kita yakini, itu seperti perilaku mengukur baju orang dengan badan sendiri.
Bila cara itu yang dilakukan, pastinya tidak pas dan tidak tepat. Karenanya, supaya alat takarnya pas, tepat, dan benar, maka _ulah sok ngukur jamang batur ku awak sorangan. Hooh, awak dia!_
***