PANDEGLANG, KONTRAS – Sejumlah penggiat film yang tergabung dalam Lembaga Pelestari Kebudayaan 94 (Lapik 94) menggelar pertunjukan nonton bareng film dokumenter “Bumi Hieum di Pendopo Bupati Pandeglang. Dalam kegiatan tersebut, turur dihadiri para penggiat film serta penggiat seni lainnya yang ada di Kabupaten Pandeglang.
Sutradara Bumi Hieum, Eky Tamamul Fikri mengatakan bahwa film tersebut menceritakan sebuah budaya Calung Renteng Abah Kalimi yang ada di Kampung Sukapura, Desa Malangnengah, Kecamatan Cibitung yang kini mulai ditinggalkan karena perkembangan zaman.
“Dalam film ini kami ingin berbicara bahwa, tradisi dalam budaya bangsa perlu diaktualisasikan dan dimaknai sesuai perkembangan zaman. Kita harus bisa bijak menyikapi tradisi di era globalisasi hari ini. Dengan demikian, itu bisa menjadi inspirasi dalam menghadapi tantangan zaman. Karena Tradisi adalah jatidiri sebuah bangsa,” kata Eky kepada Kontrasinews.com, Senin (17 Oktober 2022).
Ia pun mengaku dalam proses pembuatan film membutuhkan 4 bulan, dimulai sejak dari riset hingga persiapan tim produksi. Hal ini dilakukan demi hasil yang maksimal.
“Jadi mulai dari bulan Juli sampai Agustus kami mulai riset, pengembangan ide cerita, sampai mempersiapkan hal-hal teknis untuk persiapan produksi dan pasca produksi pada bulan September sampai Oktober,” tuturnya.
Adapun biaya pada pembuatan film tersebut, Eky mengaku bahwa semuanya didanai total oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek).
“Pembuatan film ini program Fasilitasi Bidang Kebudayaan (FBK) Kemendikbudristek 2022 yang menggarap pendokumentasian Pengetahuan atau Karya Maestro Calung Renteng, Abah Kalimi,” imbuhnya.
Dalam karya ini, dirinya berharap para penonton dapat melestarikan budaya dan seni yang ada di Kabupaten Pandeglang. Karena dalam film ini menceritakan mitologi masyarakat sekitar.
“Selain merekontruksi memori seorang maestro seni tradisi (calung renteng) film dokumenter dengan ragam performatif “Buni Hieum” juga coba menyentuh peristiwa mitologi masyarakat sunda lama yang di sajikan dalam bentuk seni pertunjukan dan simbol artistik di dalamnya,” harapnya. (Zis/Red)